Kategori

Posting favorit

Kamis, 16 Oktober 2014

Aku Sayang Kamu (part 3).

Aku merindukan kamu Fly, sudah beberapa hari kita tak saling bertatap muka. Akhirnya kuraih ponselku untuk menghubungi Fly. Sekali lagi kucoba membujuk nya.

.........

“ Kamu gimana sih ga tanggung jawab banget, aku itu pacar kamu. Bisa – bisanya kamu ninggalin aku gitu aja. Udah ga nepatin janji makan siang trus nylonong pergi gitu aja.

Kamu bener – bener ga mikirin perasaanku Ry” Fly terus saja nyrocos saat kutelpon pagi ini,

sekalipun suaranya tak lepas dari kesan lembut tapi kalo sudah marah pasti bawel seperti ini.

“ Bukan gitu Fly, aku bener – bener ga bermasud gitu. Aku terpaksa” aku sudah berusaha menenangkannya, tapi rasanya masih percuma.

“ Terpaksa? Tapi ga perlu juga kamu nyuruh aku pulang bareng Erik.

Dan kamu sedikitpun ga berusaha hubungin aku, sesibuk apapun bukan berarti ga ada waktu sama sekali kan”

“ Sayang, aku bener – bener minta maaf. Jangan marah – marah terus” harusnya aku tau kalo Fly benar – benar tak menyukai Erik.

“ Udah lah” klik, dia mematikan telponku, aku tarik nafas dalam – dalam ah ada – ada saja masalah.

Kalo sudah seperti ini harus terus membujuknya.

Pagi ini aku menikmati secangkir kopi dan roti bakar sebelum hariku di perbudak oleh Rutinitas.

Sudah beberapa hari ini aku bergelut dengan tumpukan – tumpukan pekerjaan.

Bahkan aku tak sempat bertemu Fly, apalagi beberapa kali aku harus lembur yang artinya memaksaku untuk mengabaikan nya.

Komunikasi kami juga sangat berkurang, tak salah jika Fly semakin marah denganku.

Ah tapi setidaknya aku berterimakasih kepada kerjaan dia membiarkanku sibuk dengan file – file yang paling tidak menyamarkan rasa tanggung jawabku kepada permintaan mama nya.

“ Cece, jemput gue dong di kampus, papi lagi ada urusan ga bisa jemput :D” pesan dari Justine.

“ Iyh bentar” klik, kukirimkan pesan balasan.

Kuraih kunci mobilku bergegas dan siap membawaku ke kampus tempat Justine kuliah. Aku pacu mobilku dengan kecepatan tinggi.

Kulihat Justine sudah menungguku di parkiran. Tanpa aba – aba dia langsung menghampiri mobilku dan duduk di jok sebelahku.

“ Makanya punya pacar, biar ada yang jemput” kusambut Justine dengan ejekan.

“Lo aja Ce yg jadi pacar gue gimana, gue ga masalah kalo harus pacaran sama lo”

“ What?” kata – kata Justine bagai petir disiang hari bolong, tanpa hujan tanpa mendung tiba – tiba menghantamkan suaranya.

“ Gimana Ce? Gw slalu ngrasa nyaman banget klw lg sama lo.”

“ What?”

“ Apa gue salah klw gw suka sama loe Ce?”

“ What?” itu “What” ketigaku, kepalaku dikelilingi tanda tanya besar.

Apakah ini hanya guyonan belaka, apakah ini benar – benar terjadi. Aku tak tau harus bagaimana bereaksi.

“ Ya udah Ce, lupain aja. Mending lo jalan daripada kita telat”

Aku mlongo, sudah kupastikan kali ini aku jadi orang bisu.

Belum sempat aku menjawab apa – apa dan Justine dengan santainya tanpa beban meminta melanjutkan perjalanan.

Apa – apaan sebenarnya yang terjadi, ini kenapa jadi semakin ruwet seperti ini. Hidupku sedang dipermainkan kah. Hidupku tak pernah serumit ini, rasanya semua berjalan biasa saja.

Tapi giliran masalah datang seakan bertubi – tubi. Sebenarnya apa yang di tuntut Tuhan dariku, kenapa semua serba kebetulan.

Semua kejadian kuruntut satu – satu, mama Fly, Erik dan sekarang Justine.

Apa Tuhan sedang menyadarkanku kalo memang sudah saatnya aku melepas Fly. Gila gila gila, aku bisa gila.

Sejak kejadian tadi aku dan Justine jadi gadis manis bak putri solo yang pendiam padahal biasanya kami adalah dua manusia paling brisik di dunia.

Aku masih shock atas pengakuan nya, walaupun sebenarnya aku juga tak yakin itu sebuah pengakuan.

Aku tak tau harus bagaiamana bersikap, salah – salah sikapku menyakiti dia.

“ Ce, nota tagihan yang harus di kasih pak Budi udah disiapin kan? Kalo udah biar gue bawa sekalian, gue sekalian mau mampir ke tokonya ntar sore” lagi – lagi aku mengreyitkan dahi melihat tingkah Justine, aku benar – benar ingin berteriak kearahnya

“ Kamu itu udah bikin Cece tambah mumet”. Tapi kuurungkan, entah kenapa di depan nya aku berubah menjadi manusia bisu.

“ Udah beres, bawa aja” keserahkan amplop tagihan ke arahnya.

“ Oke” di memutarkan tubuh dan memulai langkahnya tapi…

“ Tine” panggilku.

“ Iya? Oh nanti makan siang gue jangan di tinggal ya” sepersekian detik tubuh Justine sudah berhambur keluar ruangan.

Glek! Lagi – lagi aku tak mengerti dengan nya. Niat awalku memanggilnya tadi untuk menanyakan soal tadi. Meminta penjelasan atas ucapannya tadi.

Dan apa yang dia lakukan, sama sekali tak memberiku jeda untuk berucap. Tapi memang rasanya aku harus melupakan kejadian itu.

Mungkin dia memang hanya main – main.

Kudorong kursi menjauhi meja kantor, kurebahkan tubuhku di kursi, kudongakkan kepalaku ke atas, kututup mataku.

Sejenak aku ingin rileks, meringankan otot – ototku membiarkan semuanya lebih renggang.

Aku merindukan kamu Fly, sudah beberapa hari kita tak saling bertatap muka. Akhirnya kuraih ponselku untuk menghubungi nya.

“ Hallo, bisa bicara dengan mbak Friantika Tri Hapsari yg dulu primadona SMU itu? Saya ngefans banget lho mbak sama dia, tolong ya!”

“ Udah deh jangan bercanda” jawabnya di ujung sana masih dengan ketus.

“ Aku kangen kamu Fly, kita sudah lama tak bersua hehe. Kamu masih ngambek? Udah dong nanti aku beliin permen deh, permennya rasa aku”

“ Astaga kenapa aku bisa pacaran sama orang macem kamu ya haha. Kalo kangen samperin, bukan ngomong doang” dan mulai luluh.

“ Hhehe nanti aku jemput ya. Kita makan malem bareng tapi di rumah ku aja. Males kalo makan diluar pasti nanti kamu minta di bayarin”

“ Heh kamu tu pacar macam apa sih”

“ Haha bye sayang, yang sabar ya” tutupku. Yes, misi sukses.

*****

Malamnya kami sudah bersama – sama di rumah. Kami putuskan untuk membeli makan, tadinya rencana masak sendiri tapi apalah daya rencana tinggal rencana.

Fly muncul dari dapur membawa piring dan perlengkapan makan lainnya. Dia bak putri, ah sudah selama ini dan aku masih saja terpukau dengan pesonannya.

“ Ini” dia menyodorkan sepiring ke arahku. Lalu melempar sendal eh salah senyum yang menyihir maksudnya.

Kutatap wajahnya, iya aku merindukkan semua tentangnya.

Apa yang ada di wajahnya adalah rangkaian yang sempurna mata indah, pipi bakpau dan semuanya.

“ Di makan, jangan ngliatin aku terus” ah suara lembut itu nenari – nari di telingaku.

“ Kamu terlalu cantik” ucapku spontan.

Dia menunduk menyembunyikan senyuman malu.

“ Eh kerjaan udah mulai normal?” dia berkilah, mencoba mengalihkan pembicaraan yang mungkin membuatnya salah tingkah.

“ Iya, hari ini semua udah beres. Besok paling udah mulai normal. Maaf yh kamu dicuekin trus. Apalah daya kerjaan ga bisa di ajak kompromi.

Ohh iya soal makan siang tempo hari, aku bener – bener ga bermaksud ninggalin kamu. Aku bener – bener minta maaf ” sungguh aku merasa bersalah.

“ Iya, gapapa. Aku coba ngerti. Lain kali jangan gitu lagi, aku ga suka.

Hhmmm Ry, aku mau cerita tapi jangan salah paham ya?” tanyanya meminta persetujuan.

“ Ya apa dulu. Kalo bikin marah ya marah. Pasti ada yang serius kalo dari sikap kamu gini”

“ Ry, kamaren aku sama mama makan diluar sekalian mau belanja buat keperluan dapur dan…..”

dia ingin melanjutkan omongannya, tapi entah kenapa untuk beberapa saat suaranya terhenti.

“ Dan?” suaraku diiringi tanda ingin tau.

“ Ga tau gimana di tempat makan aku ketemu Erik, akhirnya kita makan bertiga. Aku ga mungkin nolak, apalagi ada mama…..” lagi lagi suaranya tertahan.

Aku semakin tak sabar sebenarnya apa yang mau dia sampaikan.

“ Fly, bilang yang seharusnya kamu bilang. Kamu bikin aku ga sabar. Aku ga begitu masalah soal makan bareng. Tapi bukan itu kan masalahnya!”

“ Erik ngomong panjang lebar ga tau kenapa dia pinter ngambil hati mama, dan mama sepertinya suka sama dia.

Dia juga berani bilang kalo selama ini dia suka sama aku, tapi akunya cuek aja” kuliat wajahnya menampakkan rasa bersalah.

“ Beberapa kali mama masih bahas soal Erik, malah kadang terang – terangan minta aku buat nyoba nerima dia.

Tapi aku selalu bilang ngga, aku ga mau” dia memejamkan mata mungkin takut kata – katanya menyakitiku.

“ Udah mending kamu kedepan dulu, biar aku beresin bekas makanannya” iya, aku tak sanggup menjawab apapun. Moment habisnya makanan kami bersamaan dengan selesainya cerita Fly aku manfaatkan untuk sekedar berfikir sejenak.

Fly menatapku bingung, kubalas tatapannya dengan senyum memastikan semaunya baik – baik saja. Akhirnya dia beranjak menuju ruang depan.

Aku terdiam sejenak mencoba menimbang – nimbang apa yang seharusnya terjadi. Bagaimana aku harus bersikap menanggapi cerita nya.

Runtutan kejadian ini membuatku tak mampu menafsirkan apapun.

Siapa bilang hidup itu gampang, hidup itu datar? Hidup ini berombak, ricuh dan seenaknya. Terkadang gemuruh ombak mengalun sebagaimana mestinya, tapi saat itu juga ombak bisa membawa Tsunami yang siap menghancurkan apapun.

“ Kamu mau pulang apa nginep?” kataku sembari duduk di sebelahnya.

Kuliat dari tadi dia memainkan remote mengganti – ganti channel.

“ Pulang, ga papa ya?” jawabnya mengalihkan pandangan dari TV ke arahku.

“ Iya, ga papa”

Untuk beberapa saat kami di rundung kesunyian, seberapa detik kumudaian kami saling menatap. Bibirnya tak bergerak, mulutnya tak bersuara tapi mata indahnya begitu lugas menyampaikan rasa.

Disana tergambar jelas cinta, kasih sayang dan rindu.

“ Fly” aku menunduk meyakinkan diri dari apa yang akan aku katakan.

“ Iya?” dia menatapku bingung. Kuraih kedua tangannya dan aku genggang erat. Sekali lagi aku meyakinkan diri untuk mengatakan semua ini.

“ Fly, coba kamu jalan sama Erik. Apa salahnya mencoba” suaraku tertelan, sekujur tubuhku gemetar.

Aku benar – benar seperti orang putus asa. Aku tak tau apa yang aku lakukan, aku merasa tak punya kuasa atas diriku padahal bukannya manusia itu raja atas dirinya sendiri.

“ Maksud kamu apa” suaranya bukan seperti pertanyaan tapi lebih meminta penjelasan. Kurasakan genggamannya semakin kuat.

“ Jangan salah paham dulu. Aku cuma pengen kamu serius menatap masa depan. Kita ga mungkin gini – gini trus. Kita bukan lagi anak muda yang Cuma egois sama diri kita sendiri.

Kita sekarang perempuan dewasa yang punya tanggung jawab. Mama kamu jelas ingin kamu punya pasangan yang bisa memberimu status dan tentunya kamu tau, aku ga pernah bisa memberimu status.”

“ Ga mungkin Ry. Ga mungkin. Ga pernah terlintas dipikiranku untuk hal – hal kaya gitu. Aku ga mungkin ninggalin kamu” dia menggeleng,

Air matanya mulai menetes melewati pipi mulusnya. Aku sentuh pipinya untuk sekedar menyeka air matanya dan kubiarkan kepala kami saling beradu.

“ Aku juga ga pernah bisa tanpa kamu Fly, membayangkan saja aku tak mau. Aku rela jadi yang kedua. Bahkan mungkin yang ketiga. Demi kamu, aku ikhas. Asal tanggung jawabmu ke orang tuamu terpenuhi. Mereka bahagia”

Kegilaan apa yang sedang aku coba lakukan, setan mana yang sedang merasukiku sehingga aku berubah menjadi manusia yang tak berotak seperti ini.

“ Kamu ngomong apa? Kamu mau sebut ini pengorbanan? hal bodoh apa yang ingin kamu lakukan” disela tangisnya ada rasa marah yang tergambar.

“ Jangan pernah kamu merendahkan diri kamu seperti ini Ry, karna dihatiku tempatmu terlalu tinggi.

Mana mungkin aku menempatkkan orang yang paling kusayang diposisi kedua” suaranya diiringi isakkan air matanya semakin tak terbendung.

Seketika kami di sergap kebisuan dalam pelukan, entah mau di bawa kemana omongan ini. Entah mau seperti apa nanti. Otakku tak mampu berfikir.

Mungkin kamu ingin tau, jika cinta ini kuat kenapa kita tak berjuang bersama, seperti halnya kisah – kisah dongeng yang rela berjuang demi cinta, rela menantang maut demi mempertahankan cinta bahkan mengobrak – abrik semua norma yang ada atas nama cinta.

Maaf, aku hanya manusia lemah. Lemah atas permintaan mamamu yang sudah memenjarakanku, aku seakan diperbudak oleh sabda mamamu.

Aku hanya tak ingin menyakiti siapapun, apalagi mamamu, karena beliau sama seperti halnya mamaku sendiri. Mana ada anak yang mau menyakiti orang tuanya.

Sembilan taun bersama sudah bercerita semuanya, waktu sudah melukiskan setiap kisah yang kita ukir.

Cintaku terhadapmu mungkin sudah mendekati alam keabadian tapi permintaan mamamu membuat keabadian ini seakan tersamar.

Seakan ada penghalang besar yang siap menghempaskan tubuh masing – masing.

Apakah permintaanku itu hal yang konyol atau haruskah aku meninggalkanmu dan memilih hanya menjadi sahabat?…..

Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan bawa2 link yg berbahaya, serem tau!!